Wednesday, November 16, 2016

kurikulum ibu profesional

“jangan pernah berdiam di ruang rasa, sehingga titik nol membekukan hidup anda” IIP

Kalimat yang membuat saya berpikir keras ketika membacanya. Saya jadi tersadar bahwa selama ini saya sudah terlalu banyak diam, meskipun belum sampai membeku tapi terlalu banyak tempat peristirahatan yang saya singgahi. Terlalu banyak godaan “ilmu menarik tetapi tidak tertarik” dari jalur lain yang saya hampiri sehingga saya bingung arah dan harus berputar untuk kembali ke jalur semula. Beruntung saya bertemu mentor dan rekan di institute ibu professional yang selalu mengingatkan saya untuk fokus dan konsisten di jalur yang sudah saya tentukan.

Sebagai seorang pendidik, saya sudah lama berkecimpung di bidang kurikulum, silabus, dan bahan ajar. Jiwa pendidik saya tergelitik saat membaca materi ke5 tentang belajar bagaimana caranya belajar. Selama ini saya terlalu sibuk menyiapkan pendidikan untuk murid-murid saya sehingga tidak terpikirkan oleh saya untuk membuat kurikulum bagi diri saya sendiri. Padahal, saya selalu mengingat kata pepatah yang ternyata baru benar-benar saya resapi maknanya saat ini

A mediocre teacher tells,
A good teacher explains,
A superior teacher demonstrates,
The great teacher inspires.

Bagaimana mungkin saya bisa menginspirasi siswa dan anak saya jika saya tidak bisa memberikan teladan yang baik. Untuk itu saya memulai proses pembuatan kurikulum bagi saya (hmm, jadi kepikiran  alternative judul disertasi saya J ). Secara garis besar, kurikulum pembelajaran diri saya dibagi menjadi tiga. Pertama, untuk kurikulum pengembangan individu saya sangat terbantu dengan kurikulum  yang sudah dibuat oleh kampus di tempat saya belajar. Kedua, kurikulum istri professional yang akan saya kembangkan bersama suami dengan berkomitmen meluangkan waktu paling sedikit 2 jam setiap harinya, baik untuk berdiskusi dengan suami, memasak, atau mengurus urusan rumah tangga lainnya. Ketga, kurikulum ibu professional yang saya kembangkan seiring perkembangan dan pertumbuhan anak saya. Dalam program ibu professional ini saya berkomitmen untuk meluangkan waktu minimal 2 jam/hari yaitu 1 jam untuk bermain bersama anak dan 1 jam untuk mencari ilmu tentang parenting dan kesehatan anak dari buku, website, dan media sosial. 

Kurikulum ini merupakan acuan langkah awal dari program pengembangan diri saya. Masih banyak yang harus saya buat dan lakukan agar program ini bisa efektif seperti silabus dan rencana pembelajaran. Saya juga harus pintar-pintar mencari materi dan mentor yang tepat agar program saya tepat sasaran dan tepat guna.

Wallahua’lam bishshawwab.

Salam,


_Asti Ramadhani_

Sunday, November 13, 2016

Consistency

Assalamualaikum, masih tentang NHW dari kelas matrikulasi IIP.

Setelah menetapkan bidang ilmu saya di awal perkuliahan IIP, saya merasa banyak perubahan yang terjadi dalam diri saya. Perubahan yang paling terasa adalah saya dapat lebih konsisten terhadap prioritas yang telah saya tetapkan. Perubahan ini juga terbantu dari indikator-indikator yang sudah saya buat pada NHW 2. Saya lebih focus mengerjakan setiap peran yang sedang saya lakukan. Misalnya, saat kuliah saya bisa menelpon dan mengecek kabar anak saya hanya saat makan siang padahal sebelumnya saya bisa menelpon tiap setengah jam sekali yang mengakibatkan saya kurang fokus di kelas. Dan ternyata hal ini juga berimbas kepada peran saya di rumah. Karena saya lebih fokus di kelas, tugas-tugas yang bisa saya kerjakan di kampus lebih banyak sehingga saat di rumah saya bisa fokus menghabiskan waktu dengan keluarga tanpa dibayang-bayangi tugas kuliah kalaupun masih ada tugas yang belum terselesaikan di kampus bisa saya lakukan di malam hari saat anak saya sudah tidur.


Seperti yang selalu diajarkan oleh ibu saya, bahwa kesuksesan seorang perempuan adalah ketika bisa mendampingi suami dan anak-anaknya menuju kesuksesan. Rupanya Institut Ibu Profesional juga memiliki pandangan yang sama dimana indikator kesuksesan seorang ibu hanya dapat dinilai oleh keluarganya, yaitu suami dan anak-anaknya. Tugas saya masih panjang, masih banyak perubahan yang harus saya lakukan agar saya bisa menjadi seorang ibu professional.

Wassalam,

_Asti Ramadhani_

Tuesday, November 08, 2016

Surat cinta untuk suami

Nice Homework ketiga kemarin adalah surat cinta untuk suami. Bukan hal mudah untuk saya menyelesaikan tugas ini karena  saya dan suami bukan tipe pasangan romantis yang biasa saling memuji dan mengumbar kata-kata manis. Selama ini kami menunjukkan sayang dan cinta lewat perhatian-perhatian saja.  Baru membayangkan prosesnya saja sudah membuat saya berbunga-bunga.  Saat menulis surat cintanya berhasil membuat saya senyum-senyum sendiri membayangkan kisah-kisah yang pernah kita lalui bersama setelah 4 tahun menikah. Selepas menulis surat, saya letakkan surat itu di atas bantal “hati” agar kesannya lebih romantis. Saya tidak akan menulis surat cinta saya disini, biarlah hanya saya, babah, dan Allah yang tahu.



Laluuuu bagaimana respon pak suami atas usaha saya itu? Percis seperti yang sudah saya perkirakan. Kata pertama yang keluar adalah “ciyeeeeeee” (iyaaa ciyeee bukan makasih atau apaaa gitu) ditambah lagi dengan pertanyaan “kenapa mi? tumben”.

Jadi segenap perasaan saya yang saya tuangkan dalam selembar surat itu direspon pak suami pakai logika. Menurut saya disinilah bedanya perempuan dan laki-laki. Perempuan lebih mengedepankan perasaan (intuisi)  sementara laki-laki lebih mengutamakan logika. Bukan berarti perempuan gak punya logika dan laki-laki gak pakai perasaan yaaa, tetapi pola pikir apa yang digunakan dalam melihat suatu persoalan kehidupan. Perbedaan inilah yang bisa saling menguatkan di dalam hubungan rumah tangga. Pengalaman saya tentang pola pikir ini yaitu saat anak saya tantrum, hamper saja teori yang sudah saya pelajari runtuh karena tidak kuat menahan “rasa kasihan” melihat anak nangis dan beruntungnya ada suami yang dengan logikanya menguatkan saya bahwa apa yang saya lakukan demi kebaikan anak kami kedepannya.


Meskipun suami saya bukan orang yang pandai mengumbar kata manis, saya yakin dia memiliki rasa cinta yang sama dengan saya. Cinta kepada keluarganya yang melebihi cintanya kepada apapun di dunia ini namun tak melebihi cintanya kepada Allah Sang Maha Penyayang. Cinta yang tak terungkap lewat kata namun dapat dirasakan lewat perbuatan.